Nekrolisis Epidermal

Nekrolisis epidermal, mencakup Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif.

Definisi

Nekrolisis epidermal, mencakup Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toksik Epidermal Nekrolisis (TEN), adalah reaksi mukokutaneus yang mengancam jiwa, ditandai dengan nekrosis dan pelepasan epidermis yang ekstensif.

Kedua kondisi ini digolongkan sebagai varian keparahan dari proses yang serupa, karena adanya kesamaan temuan klinis dan histopatologis. Perbedaan terdapat pada keparahan yang ditentukan berdasarkan luas area permukaan kulit yang terkena.

Etiologi

SJS-TEN disebabkan oleh obat-obatan tertentu. 40% diantaranya adalah antibiotik. Obat tersebut antara lain:

  • Sulfonamid: kotrimoksazol
  • Beta-laktam: golongan Penisilin dan Cefalosporin
  • Anti konvulsan: lamotrigine, carbamazepine, phenytoin, phenobarbitone
  • Allopurinol
  • NSAID, terutama golongan oxicam
  • Nevirapin

Patofisiologi

Patofisiologi Steven Johnson Syndrome (Sindroma Stevens Johnson/SSJ) sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Beberapa studi menjelaskan bahwa kerusakan epidermis terjadi karena adanya peran aktif sel T sitotoksik, sel Natural Killer (NK) dan CD8+ spesifik obat yang bereaksi terhadap keratinosit dengan mediator ligan Fas/Fas Ligand (Fas-L). Reaksi ini menyebabkan apoptosis sel yang ekstensif.

Sel T sitotoksik dan sel NK juga memproduksi granulisin, protein yang dinilai memiliki peranan penting dalam merusak epidermis karena memiliki sifat sitolitik. Produksi granulisin dari sel-sel tersebut diperkirakan merupakan akibat dari reaksi imun antara reseptor CD94/NKG2C dan alel HLA, seperti HLA-E, HLA-A, atau HLA-B. Sel CD94/NKG2C ditemukan positif pada cairan lesi kulit dan apusan darah tepi pasien SSJ dan diperkirakan merupakan pemicu aktivitas sel T sitotoksik.

Faktor lain yang dinilai terlibat adalah zat-zat metabolit dari dalam obat yang dapat bereaksi dengan sistem imun pasien. Jalur kematian sel non-apoptosis juga dinilai berperan. Perforin, TNF-a, dan granzim B juga ditemukan tinggi pada cairan lesi kulit pasien. Dari seluruh faktor yang diperkirakan berperan dalam pathogenesis SSJ, granulisin dinilai sebagai faktor yang paling signifikan. Fas-L ditemukan 5 hingga 7 kali meningkat pada pasien dengan SSJ, meskipun belum muncul bula atau blister. Studi cairan lesi kulit pasien SSJ menunjukkan ekspresi granulisin dua hingga empat kali lipat lebih tinggi dibandingkan Fas-L. Granulisin juga ditemukan lebih tinggi jika kerusakan epidermis lebih ekstensif.

Penegakan Diagnosis

Anamnesis

  • Penyebab terpenting adalah penggunaan obat.
  • Riwayat penggunaan obat sistemik (jumlah dan jenis obat, dosis, cara pemberian, lama pemberian, urutan pemberian obat), serta kontak obat pada kulit yang terbuka (erosi, eskoriasi, ulkus) atau mukosa.
  • Jangka waktu dari pemberian obat sampai timbul kelainan kulit (segera, beberapa saat atau jam atau hari atau hingga 8 minggu).
  • Identifikasi faktor pencetus antara lain: infeksi (Mycoplasma pneumoniae, virus), imunisasi, dan transplantasi sumsum tulang belakang.

Pemeriksaan Fisik

  • SJS dan TEN ditandai dengan keterlibatan kulit dan membran mukosa.
  • Kelainan kulit yaitu: eritema, vesikel, papul, erosi, eskoriasi, krusta kehitaman, kadang purpura, dan epidermolisis. Tanda Nikolsky positif.
  • Kelainan mukosa (setidaknya pada dua tempat): biasanya dimulai dengan eritema, erosi dan nyeri pada mukosa oral, mata dan genital. Kelainan mata berupa konjungtivitis kataralis, purulenta, atau ulkus. Kelainan mukosa oral berupa erosi hemoragik, nyeri yang tertutup pseudomembran putih keabuan dan krusta. Kelainan genital berupa erosi yang dapat menyebabkan sinekia.
  • Gejala ekstrakutaneus: demam, nyeri dan lemah badan, keterlibatan organ dalam, seperti paru-paru yang bermanifestasi sebagai peningkatan kecepatan pernapasan dan batuk, serta komplikasi organ digestif seperti diare masif, malabsorbsi, melena, atau perforasi kolon.

  • Luas epidermolisis

SJS : < 10% luas permukaan tubuh

SJS-TEN : 10-30% luas permukaan tubuh

TEN : >30% luas permukaan tubuh

Pemeriksaan Penunjang

  • Pemeriksaan laboratorium dilakukan bukan untuk kepentingan diagnosis, tetapi untuk evaluasi derajat keparahan dan tatalaksana keadaan yang mengancam jiwa. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi hematologi rutin, urea serum, analisis gas darah, dan gula darah sewaktu.
  • Uji kultur bakteri dan kandida dari tiga area lesi kulit pada fase akut.
  • Pemeriksaan histopatologis dilakukan, apabila diagnosis meragukan.
  • Diagnosis kausatif dilakukan, minimal 6 minggu setelah lesi kulit hilang dengan:
    • Uji tempel tertutup
    • Uji in vitro dengan drug-specific lymphocyte proliferation assays (LPA) dapat digunakan secara retrospektif untuk menentukan obat yang diduga menjadi pencetus.

Catatan: Uji provokasi peroral tidak dianjurkan.

Diagnosis Banding

  • Eritema multiforme major (EMM)
  • Pemfigus vulgaris
  • Mucous membrane pemphigoid
  • Pemfigoid bulosa
  • Pemfigus paraneoplastik
  • Bullous lupus erythematosus
  • Linear IgA dermatosis
  • Generalized bullous fixed drug eruption
  • Bullous acute graft-versus-host disease
  • Staphylococcal scalded skin syndrome
  • Acute generalized exanthematous pustulosis

Tatalaksana

Non-medikamentosa

  • Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
  • Penanganan kulit yang mengalami epidermolisis, seperti kompres dan mencegah infeksi sekunder.
  • Berikan nutrisi secara enteral pada fase akut, baik secara oral maupun nasogastrik.

Medikamentosa

Prinsip :

  • Menghentikan obat yang dicurigai sebagai pencetus.
  • Pasien dirawat di RS (sebaiknya dirawat di ruangan intensif) dan dimonitor ketat untuk mencegah hospital associated infections (HAIs).
  • Atasi keadaan yang mengancam jiwa

Topikal

Tujuan: mencegah kulit terlepas lebih banyak, infeksi mikroorganisme, dan mempercepat reepitelialisasi.

  • Dapat diberikan pelembab berminyak seperti 50% gel petroleum dengan 50% cairan parafin.
  • Keterlibatan mata harus ditangani oleh dokter spesialis mata.

Sistemik

  • Kortikosteroid sistemik : deksametason intravena dengan dosis setara prednison
    • SJS : 1-4 mg/kgBB/hari 
    • SJS-TEN : 3-4 mg/kgBB/hari 
    • TEN : 4-6 mg/kgBB/hari
  • Analgesik
    • Nyeri ringan: parasetamol
    • Nyeri berat: analgesik opiate-based seperti tramadol

Pilihan lain :

  • Intravenous immunoglobulin (IVIg) dosis tinggi dapat diberikan segera setelah pasien didiagnosis TEN dengan dosis 1 g/kgBB/hari selama 3 hari.
  • Siklosporin dapat diberikan dengan dosis 3mg/kg BB/hari selama 10 hari.
  • Kombinasi IVIg dengan kortikosteroid sistemik dapat mempersingkat waktu penyembuhan, tetapi tidak menurunkan angka mortalitas.

Referensi

  1. Danarti, R., Budiyanto, A., Pudjiati, S.R., Siswati, A.S., Febriana, S.A., Rayinda, T. 2020. Clinical Decision Making Series: Dermatologi dan Venerologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  2. Menaldi, S.L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
  3. PERDOSKI. 2021. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venerologi Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
  4. Kang S, & Amagai M, & Bruckner A.L., & Enk A.H., & Margolis D.J., & McMichael A.J., & Orringer J.S.(Eds.). 2019. Fitzpatrick's Dermatology, 9e. McGraw Hill.
  5. Foster CS, Ba-Abbad R, Letko E, et al. 2019. Stevens-Johnson Syndrome. Medscape.
  6. Nirken MH, High WA, Adkinson NF, et al. 2017. Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis: Clinical manifestations; pathogenesis; and diagnosis. UpToDate.
Customer Support umeds