Appendisitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis. Appendix merupakan organ tubular yang terletak pada pangkal usus besar yang berada di perut kanan bawah dan organ ini mensekresikan IgA namun seringkali menimbulkan masalah bagi kesehatan. Peradangan akut Appendix atau apendisitis akut menyebabkan komplikasi yang berbahaya apabila tidak segera dilakukan tindakan bedah.
Etiologi yang dapat menyebabkan appendisitis dapat disebabkan oleh adanya sumbatan lumen appendix vermiformis atau akibat dari inflamasi yang dicetuskan tanpa adanya obstruksi pada lumen appendix vermiformis.
Obstruksi lumen adalah penyebab utama pada apendisitis akuta. Penyebab yang lebih jarang adalah hiperplasia jaringan limfoid di sub mukosa appendix, kontras barium yang mengering pada pemeriksaan sinar X, biji-bijian, gallstone, cacing usus terutama Oxyuris vermicularis. Reaksi jaringan limfatik, baik lokal maupun generalisata, dapat disebabkan oleh infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. apendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enterik atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Insidensi apendisitis juga meningkat pada pasien dengan cystic fibrosis. Hal tersebut terjadi karena perubahan pada kelenjar yang mensekresi mukus. Obstruksi appendix juga dapat terjadi akibat tumor carcinoid, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal.
Sumbatan lumen appendix merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus apendisitis. Sumbatan lumen tersebut dapat memicu pertumbuhan bakteri dan peningkatan tekanan intra luminal, menyebabkan obstruksi aliran vena dan mungkin juga arteri, akhirnya menimbulkan gangren dan perforasi. Dikatakan bahwa infeksi virus dan bakteri, seperti Shigella, Salmonella, infeksi mononukleosis dapat menyebabkan apendisitis, mungkin dengan menimbulkan hiperplasia limfoid yang selanjutnya menyumbat lumen.
Flora pada apendiks yang meradang berbeda dengan flora apendiks normal. Diduga lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal Colon memainkan peranan penting pada perubahan apendisitis akut ke apendisitis gangrenosa dan apendisitis perforata. apendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. Flora normal pada appendix sama dengan bakteri pada volon normal. Bakteri yang umumnya terdapat di appendix, apendisitis acuta dan apendisitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai variasi dan bakteri fakultatif dan anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan.
Obstruksi lumen akibat adanya sumbatan pada bagian proksimal dan sekresi normal mukosa Appendix segera menyebabkan distensi. Kapasitas lumen pada Appendix normal 0,1 mL. Sekresi sekitar 0,5 mL pada distal sumbatan meningkatkan tekanan intraluminal sekitar 60 cmH2O. Distensi merangsang akhiran serabut saraf aferen nyeri visceral,mengakibatkan nyeri yang samar-samar, nyeri difus pada perut tengah atau di bawah epigastrium. Distensi berlanjut tidak hanya dari sekresi mukosa, tetapi juga dari pertumbuhan bakteri yang cepat di appendix. Sejalan dengan peningkatan tekanan organ melebihi tekanan vena, aliran kapiler dan vena terhambat menyebabkan kongesti vaskular. Akan tetapi aliran arteriol tidak terhambat. Distensi biasanya menimbulkan refleks mual, muntah, dan nyeri yang berlebih.. Proses inflamasi segera melibatkan serosa appendix dan peritoneum parietal pada regio ini, mengakibatkan perpindahan nyeri yang khas ke RLQ.
Mukosa gastrointestinal termasuk Appendix, sangat rentan terhadap kekurangan suplai darah. Dengan bertambahnya distensi yang melampaui tekanan arteriol, daerah dengan suplai darah yang paling sedikit akan mengalami kerusakan paling parah. Dengan adanya distensi, invasi bakteri, gangguan vaskuler, infark jaringan, terjadi perforasi. Di awal proses peradangan Appendix, pasien akan mengalami gejala gangguan gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis apendisitis, khususnya pada anak-anak
Distensi Appendix menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral yang dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri tumpul di dermatom Th-10. Distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual dan muntah dalam beberapa jam setelah timbul nyeri perut. Appendix yang mengalami obstruksi merupakan tempat yang baik bagi perkembangbiakan bakteri. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran limfatik sehingga terjadi edema. Hal-hal tersebut semakin meningkatan tekanan intraluminal Appendix. Akhirnya, peningkatan tekanan ini menyebabkan gangguan aliran sistem vaskularisasi appendix yang menyebabkan iskhemia jaringan intraluminal Appendix, infark, dan gangren. Setelah itu, bakteri melakukan invasi ke dinding Appendix dan ditandai dengan gejala demam, takikardia, dan leukositosis akibat pelepasan mediator inflamasi karena iskemia jaringan.
Ketika eksudat inflamasi yang berasal dari dinding Appendix berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatik akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi Appendix, khususnya di titik Mc Burney’s. Jarang terjadi nyeri somatik pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya. Pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal atau di pelvis, nyeri somatik biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sebelum terjadi perforasi Appendix dan penyebaran infeksi. Nyeri pada Appendix yang berlokasi di retrocaecal dapat timbul di punggung atau pinggang. Appendix yang berlokasi di pelvis, yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau Vesica urinaria akibat penyebaran infeksi apendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi Appendix akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis difus. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan tubuh pasien berespon terhadap perforasi tersebut. Tanda perforasi Appendix mencakup peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena bayi tidak memiliki jaringan lemak omentum, sehingga tidak ada jaringan yang melokalisir penyebaran infeksi akibat perforasi. Perforasi yang terjadi pada anak yang lebih tua atau remaja, lebih memungkinkan untuk terjadi abscess. Abscess tersebut dapat diketahui dari adanya massa pada palpasi abdomen pada saat pemeriksaan fisik Konstipasi jarang dijumpai. Tenesmus ad ani sering dijumpai. Diare sering dijumpai pada anak-anak, yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek, akibat iritasi Ileum terminalis atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abses pelvis.
Diagnosis dapat ditegakan menggunakan Modified Alvarado Score, yaitu sebagai berikut :
Interpretasi :
1-4 : sangat mungkin bukan appendisitis akut
5-7 : sangat mungkin appendisitis akut
8-10 : pasti appendisitis akut
Gejala apendisitis akut umumnya timbul kurang dari 36 jam dan hal yang dapat ditemukan dalam anamnesis yaitu:
Gejala apendisitis yang terjadi pada anak dapat bervariasi, mulai dari yang menunjukkan kesan sakit ringan hingga anak yang tampak lesu, dehidrasi, nyeri lokal pada perut kanan bawah, bayi yang tampak sepsis. Pasien dengan peritonitis difus biasanya bernafas mengorok. Pada beberapa kasus yang meragukan, pasien dapat diobservasi dulu selama 6 jam.
Temuan pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan oleh pemeriksa adalah :
Pasien dibaringkan pada sisi kiri, kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Positif jika timbul nyeri pada kanan bawah.
Pemeriksaan colok dubur dapat menyebabkan nyeri bila daerah radang tercapai dengan jari telunjuk. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka colok dubur lebih menjanjikan untuk menegakkan diagnosis. Namun pemeriksaan colok dubur tidak dianjurkan pada anak-anak. Pada auskultasi, peristalsis usus sering normal. Peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.
Ultrasonografi
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Appendix diidentifikasi/dikenal sebagai suatu gambaran yang kabur, bagian usus yang nonperistaltik yang berasal dari Caecum. Dengan penekanan yang maksimal, Appendix diukur dalam diameter anterior-posterior. Penilaian dikatakan positif bila tanpa kompresi ukuran anterior-posterior Appendix 6 mm atau lebih. Ditemukannya appendicolith akan mendukung diagnosis. Gambaran USG dari Appendix normal, yang dengan tekanan ringan merupakan struktur akhiran tubuler yang kabur berukuran 5 mm atau kurang, akan menyingkirkan diagnosis apendisitis acuta. Penilaian dikatakan negatif bila Appendix tidak terlihat dan tidak tampak adanya cairan atau massa pericaecal. Sewaktu diagnosis apendisitis akut tersingkir dengan USG, pengamatan singkat dari organ lain dalam rongga abdomen harus dilakukan untuk mencari diagnosis lain. Pada wanita-wanita usia reproduktif, organ-organ panggul harus dilihat baik dengan pemeriksaan transabdominal maupun endovagina agar dapat menyingkirkan penyakit ginekologi yang mungkin menyebabkan nyeri akut abdomen.
USG sama efektifnya pada anak-anak dan wanita hamil, walaupun penerapannya terbatas pada kehamilan lanjut. USG memiliki batasan-batasan tertentu dan hasilnya tergantung pada pemakai. Penilaian positif palsu dapat terjadi dengan ditemukannya periapendisitis dari peradangan sekitarnya, dilatasi Tuba fallopi, benda asing (inspissated stool) yang dapat menyerupai appendicolith, dan pasien obesitas Appendix mungkin tidak tertekan karena proses inflamasi Appendix yang akut melainkan karena terlalu banyak lemak. USG negatif palsu dapat terjadi bila apendisitis terbatas hanya pada ujung Appendix, letak retrocaecal, Appendix dinilai membesar dan dikelirukan oleh usus kecil, atau bila Appendix mengalami perforasi oleh karena tekanan.
Pasien yang telah didiagnosis mengalami apendisitis akut harus dipuasakan terlebih dahulu dan diberikan analgetik serta antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala. Pasien dengan apendisitis akut harus diobati dengan antibiotik spektrum luas untuk flora di kolon, termasuk gram-positif, gram-negatif, organisme anaerob. Dalam kasus apendisitis akut pada umumnya, diperlukan antibiotik dalam 24 jam atau kurang. Namun, jika sudah terjadi perforasi, pemberian antibiotik jangka panjang diperlukan, sekitar 5-7 hari. Kebanyakan protokol pengobatan termasuk pengobatan awal antibiotik intravena selama 1-3 hari lalu diikuti dengan antibiotik oral selama 7 hari. Antibiotik yang diberikan yaitu kombinasi sefalosporin dan tinidazol atau penisilin spektrum luas yang dikombinasikan dengan penghambat betalaktam sedang. Antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime dan Metronidazole juga dapat digunakan. Pasien harus rawat inap dengan pemantauan ketat terhadap kondisi pasien dan mempersiapkan pemilihan operasi apendisitis jika gejala klinis tidak membaik.
Bila dilakukan pembedahan, terapi pada pembedahan meliputi; antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai pada kasus akut, digunakan single dose dipilih antibiotika yang bisa melawan bakteri anaerob. Jika diagnosis apendisitis akut sudah dapat dipastikan maka tindakan paling tepat adalah dengan dilakukannya apendiktomi. Apendiktomi yang biasa dilakukan adalah dengan melakukan insisi di kuadran kanan bawah, tepatnya di titik McBurney. Apendektomi dilakukan dengan open surgery atau laparoskopi. Kedua prosedur tersebut memiliki risiko yang sangat rendah, morbiditas dan mortalitis tergantung tingkat keparahan apendisitisnya. Secara teknis, laparoskopi dianggap lebih unggul dari segi rendahnya infeksi pada luka. Rasa sakit yang lebih kecil dirasakan pada hari pertama pasca operasi, dan durasi rawat inap yang lebih pendek. Open surgery dikaitkan dengan tingkat abses intraabdominal yang lebih rendah, waktu operasi yang sedikit lebih pendek, dan biaya yang lebih rendah . Waktu pembedahan apendektomi masih menjadi kontroversi, pada apendisitis yang berkembang menjadi perforasi dan gangren, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Apendektomi laparoskopi untuk apendisitis tanpa komplikasi harus dilakukan pada 24 jam pertama setelah diagnosis.
Pada gastroenteritis, mual muntah, dan diare dirasakan lebih dulu dari rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak ada batas yang tegas. Pada auskultasi ditemukan hiperperistaltik. Demam dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut.
Demam dengue dapat diawali dengan sakit perut mirip peritonitis. Cara membedakannya adalah dengan adanya hasil tes positif pada Rumpel Leed, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.
Ovulasi mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri serupa pernah timbul terlebih dahulu. Tidak disertai dengan tanda radang, dan nyeri dapat hilang dalam waktu 24-48 jam.
Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari apendisitis dan nyeri perut kuadran kanan bawah dirasakan lebih difus. Juga ditemukan adanya keputihan dan infeksi urin. Rasa nyeri sekali di panggul pada colok vaginal jika uterus diayunkan. Pada gadis, dapat dilakukan colok dubur untuk menentukan diagnosis banding.
Keluhan yang sering adalah adanya terlambat haid. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan rongga Douglas dan pada kuldosentesis didapatkan darah.
Gejala yang khas adalah adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan. Eritrosituria sering ditemukan. Untuk memastikan diagnosa ini dapat digunakan foto polos perut dan urografi intravena.
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi. Adanya fekalit di dalam lumen, umur, dan keterlambatan diagnosis, merupakan faktor predisposisi terjadinya perforasi appendix. Pada orang tua sering terjadi perforasi karena gejala radang yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan anatomi appendix berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Insidens tinggi pada anak karena dinding appendix masih tipis, dan anak kurang komunikatif sehingga diagnosis terlambat. Gejala dari perforasi appendix adalah demam tinggi, nyeri makin hebat di seluruh perut, perut tegang dan juga kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristalsis usus menurun hingga menghilang. Perlu dilakukan perbaikan keadaan umum dengan infus, antibiotik spektrum luas, dan pipa nasogastrik perlu dilakukan selama pembedahan. Dilakukan juga laparotomi dengan insisi panjang agar dapat mencuci rongga peritoneum.
Perforasi dapat terjadi secara bebas, bisa juga terjadi pada appendix yang telah mengalami pendindingan, sehingga berupa massa yang terdiri dari appendix, sekum, dan usus. Pada kebanyakan kasus apendisitis akut akan mengalami perforasi dan peritonitis difus dalam beberapa hari, sehingga pasien tampak sakit berat, namun terkadang perforasi appendix dapat diselubungi oleh struktur yang terdiri dari omentum dan lekukan usus. Pasien ini tidak mengalami peritonitis difus, melainkan terbentuk massa inflamasi lokal yang menutupi tempat perforasi tersebut, dengan atau tanpa abses. Rasa nyeri dan tanda sistemik lainnya bisa terhalang oleh proses ini, sehingga manifestasi klinik diketahui terlambat. Pasien ini umumnya merasakan nyeri di kuadran kanan bawah, adanya tahanan saat palpasi di titik McBurney, dan teraba adanya massa. Kunci diagnostik kasus ini adalah dari lamanya perjalanan penyakit, karena untuk terbentuknya massa periapendikuler ini membutuhkan waktu minimal 5 hari. CT scan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa, lalu dilakukan percutaneous abscess drainage. Pada kasus akut, lebih baik tidak dilakukan tindakan bedah, karena walaupun appendix dapat dibuang, tindakan bedah akan menimbulkan resiko cidera struktur massa, seperti omentum dan usus. Antibiotik IV dapat diberikan, dan akan memberikan respon dalam 24-48 jam dengan menurunnya rasa nyeri dan demam. Selanjutnya pasien dapat diberikan antibiotik secara oral dan diet normal. Inflamasi appendix ini akan mereda dalam 1-2 minggu. Antibiotik harus tetap diberikan sampai sekitar 2 minggu.
Apendektomi dilakukan pada massa periapendikuler tanpa pus yang telah stabil, yaitu sekitar 6-8 minggu. Bila terlanjur terjadi abses, maka dapat dilakukan drainase terlebih dahulu, apendektomi dilakukan 6-8 minggu setelahnya. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala, pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak menunjukkan randa radang atau abses, tindakan bedah dapat dibatalkan.