Diabetes Melitus Tipe-1
DM tipe-1 adalah kelainan sistemik akibat terjadinya gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel β pankreas baik oleh proses autoimun maupun idiopatik sehingga produksi insulin berkurang hingga dapat terhenti. Sekresi insulin yang rendah mengakibatkan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein.
Autoantibodi yang berkaitan dengan diabetes adalah glutamicacid decarboxylase 65 autoantibodies (GAD); tyrosine phosphatase- like insulinoma antigen 2 (IA2); insulin autoantibodies (IAA); dan β-cell- specific zinc transporter 8 autoantibodies (ZnT8). Ditemukannya satu atau lebih dari autoantibodi ini membantu konfirmasi diagnosis DM tipe-1.
Diabetes Melitus Tipe-2
Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. DM Tipe 2 lebih sering dikaitkan dengan adanya resistensi insulin atau insensivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau berada dalam rentang normal. Karena insulin tetap dihasilkan oleh sel-sel beta pankreas, maka diabetes mellitus tipe II dianggap sebagai non insulin dependent diabetes melitus.
Diabetes Melitus Tipe-1
Diabetes Melitus Tipe-2
Diabetes Melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor risiko yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik yang kedua adalah faktor risiko yang dapat diubah misalnya aktivitas fisik, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan Indeks Masa Tubuh. Seluruh faktor risiko ini dapat bersifat tunggal atau multifaktorial yang akhirnya menyebabkan progresi dari penyakit DM Tipe 2.
Diabetes Melitus Tipe-1
Diabetes mellitus tipe-1 terjadi akibat destruksi sel beta pankreas akibat proses autoimun, walaupun pada sebagian kecil pasien tidak didapatkan bukti autoimunitas atau idiopatik. Umumnya, gejala klinis timbul ketika kerusakan sel-sel pankreas mencapai ≥90%. Banyak faktor yang berkontribusi dalam patogenesis DM tipe-1, di antaranya faktor genetik, epigenetik, lingkungan, dan imunologis. Namun, peran spesifik masing-masing faktor terhadap patogenesis DM tipe-1 masih belum diketahui secara jelas. Risiko untuk mengalami DM tipe-1 berhubungan dengan kerusakan gen, saat ini diketahui lebih dari 40 lokus gen yang berhubungan dengan kejadian DM tipe-1. Riwayat keluarga jarang dijumpai, hanya 10%-15% pasien memiliki keluarga derajat pertama dan kedua dengan DM tipe-1. Faktor lingkungan yang berhubungan dengan DM tipe-1, antara lain, infeksi virus dan diet. Sindrom rubella kongenital dan infeksi human enterovirus diketahui dapat mencetuskan DM tipe-1.
Dari faktor risiko yang telah disebutkan di atas, diabetes mellitus tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah pada kerusakan sel β pankreas dan defisiensi insulin. Diabetes mellitus tipe 1 adalah hasil dari interaksi genetik, lingkungan, dan faktor imunologi yang pada akhirnya mengarah terhadap kerusakan sel β pankreas dan defisiensi insulin. Massa sel β kemudian menurun dan sekresi insulin menjadi semakin terganggu, meskipun toleransi glukosa normal dipertahankan (Powers, 2010). Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga diabetes yang diperantarai imun. Diabetes dengan tipe ini hanya 5-10% dari penderita diabetes. Tanda dari penghancuran imun sel β termasuk autoantibodi sel islet, autoantibodi terhadap insulin, autoantibodi untuk GAD (GAD 65), dan autoantibodi terhadap tirosin fosfatase IA -2 dan IA - 2b. Diabetes mellitus tipe 1 ini, tingkat kehancuran sel β cukup bervariasi, menjadi cepat pada beberapa individu (terutama bayi dan anak- anak) dan lambat pada orang lain (terutama dewasa). Beberapa pasien, terutama anak- anak dan remaja, dapat hadir dengan ketoasidosis sebagai manifestasi pertama penyakit. Namun orang lain, terutama orang dewasa dapat mempertahankan fungsi sel β, sisa yang cukup untuk mencegah ketoasidosis selama bertahun-tahun, orang tersebut akhirnya menjadi tergantung pada insulin untuk bertahan hidup dan beresiko untuk ketoasidosis. Pada tahap selanjutnya dari penyakit, ada sedikit atau tidak ada sekresi insulin sebagai manifestasi dari rendah atau tidak terdeteksi C-peptida di dalam plasma.
Dengan pemberian insulin, fungsi sel β yang tersisa membaik sehingga kebutuhan insulin eksogen berkurang. Periode ini disebut sebagai periode bulan madu atau honeymoon period di mana kontrol glikemik baik. Umumnya, fase ini diawali pada beberapa minggu setelah mulai terapi sampai 3-6 bulan setelahnya, pada beberapa pasien dapat mencapai dua tahun.
Diabetes Melitus Tipe-2
Gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin berkontribusi kurang lebih bersama-sama terhadap perkembangan kondisi patofisiologi dari DM Tipe 2.
Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal. Keadaan ini lazim disebut sebagai “resistensi insulin”. Resistensi insulin banyak terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2. Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan pada sekresi insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.
Mekanisme spesifik yang mendasari patofisiologi di atas yaitu:
Gangguan sekresi insulin adalah penurunan respon glukosa, yang diamati sebelum onset klinis penyakit. Lebih khusus lagi, gangguan toleransi glukosa diinduksi oleh penurunan sekresi insulin fase awal yang responsif terhadap glukosa, dan penurunan sekresi insulin tambahan setelah makan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Penurunan sekresi fase awal merupakan bagian penting dari penyakit ini, dan sangat penting sebagai perubahan patofisiologi dasar selama timbulnya penyakit pada semua kelompok etnis. Gangguan sekresi insulin umumnya progresif, dan perkembangannya melibatkan toksisitas glukosa. Jika tidak diobati, diketahui hal ini dapat menyebabkan penurunan massa sel pankreas. Perkembangan gangguan fungsi sel pankreas sangat mempengaruhi kontrol glukosa darah jangka panjang. Sementara pasien pada tahap awal setelah timbulnya penyakit terutama menunjukkan peningkatan glukosa darah postprandial sebagai akibat dari peningkatan resistensi insulin dan penurunan sekresi fase awal, perkembangan kerusakan fungsi sel pankreas selanjutnya menyebabkan peningkatan permanen glukosa darah.
Resistensi insulin adalah suatu kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak mengerahkan aksi yang cukup sebanding dengan konsentrasi darahnya. Penurunan aksi insulin pada organ target utama seperti hati dan otot adalah gambaran patofisiologi umum dari diabetes tipe 2. Resistensi insulin berkembang dan meluas sebelum timbulnya penyakit. Investigasi ke dalam mekanisme molekuler untuk aksi insulin juga dapat menjelaskan bagaimana resistensi insulin terkait dengan faktor genetik dan faktor lingkungan (hiperglikemia, asam lemak bebas, mekanisme inflamasi, dll).
Anamnesis
Pada anamnesis pasien diabetes melitus, biasanya akan ditemukan :
Pendekatan khusus pada DM Tipe 2 perlu dilakukan karena pada DM Tipe ini melibatkan banyak faktor dari kehidupan pasien yang perlu ditanyakan seperti riwayat makanna, riwayat aktivitas fisik, riwayat penyakit keluarga, dan juga berbagai hal lainnya.
Pada pasien diabetes perlu ditanyakan mengenai adanya riwayat muntah berulang dan pada beberapa kasus nyeri perut (menyebabkan kesalahan diagnosis sebagai gastroenteritis) dan riwayat kehilangan berat badan. Selain itu perlu juga ditanyakan riwayat adanya gejala-gejala pasien yang sudah mengarah pada ketoasidosis diabetik seperti bau pernapasan aseton hingga gejala syok seperti nadi cepat, sirkulasi perifer memburuk dengan sianosis perifer. Adanya gejala-gejala yang mengarah ke KAD harus segera ditangani dengan baik karena dapat menyebabkan komplikasi yang buruk pada pasien diabetes melitus. Diagnosis KAD pada anak lebih sulit dibandingkan pada orang dewasa, karena sulitnya menggali keluhan dari anamnesis pada anak-anak.
Pemeriksaan Fisik
Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemeriksaan fisik pasien DM adalah:
Kriteria Diagnosis
Diagnosis DM tipe 1 atau 2 dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:
Pada penderita yang asimtomatis dengan peningkatan kadar glukosalasma sewaktu (>200 mg/dL) harus dikonfirmasi dengan kadar glukosa plasma puasa atau dengan tes toleransi glukosa oral yang terganggu. Diagnosis tidak ditegakkan berdasarkan satu kali pemeriksaan.